Jika kita memperhatikan sekeliling di
warung makan, tak jarang ditemui sebuah fenomena menyayat hati. Seseorang mengambil
sendiri apa yang dia inginkan untuk makan, tapi menghasilkan sebuah epilog
bahwa masih terdapat sisa makanan yang cukup banyak di atas piringnya.
Seolah-olah dia hanya makan setengahnya saja. Sebenarnya tidak ada alasan
pembenar apalagi pemaaf untuk keadaan ini. Sudah makan atau perutnya sakit atau
alasan mengelak lainnya tidak dapat diterima. Alasan-alasan retoris itu sudah
seharusnya dapat dihindari sebelumnya. Langkah preventif bisa diambil, tapi
orang dengan mudah memakai cara represif. Ketika sudah terjadi baru mengeluh
atau menyalahkan keadaan. Padahal sebelumnya bisa dicegah.
Nafsu yang besar dan situasi terburu-buru
membuat seseorang tidak mampu berpikir jernih. Jika terus berlanjut, hal ini
dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain karena terkait dengan kepedulian
terhadap sesama. Bayangkan, orang yang makan tapi menyisakannya dengan porsi
yang tidak sedikit tentu akan merugikan sekitarnya. Warung makan rugi karena
makanan tidak habis. Sisa makanan itu tidak bisa dikonversi lagi menjadi
makanan baru untuk dijual ke orang lain.
Kelaparan dan kurang gizi |
Selanjutnya, kita pasti sering mendengar
bahwa banyak orang-orang di luar sana memiliki kehidupan yang tidak lebih baik
ketimbang para pengunjung warung makan. Mereka tidak sanggup membeli makanan
segar dan bersih. Kalaupun mampu, mereka tidak akan mendapat porsi apalagi gizi
yang baik hanya dengan beberapa lembar uang yang bernilai rendah.
Saya sering mengalami seperti yang telah
dipaparkan. Jengkel rasanya melihat fenomena itu. Tak jarang pula saya menegur
orang-orang terdekat atau yang makan bersama saya untuk menghabiskan makanannya
hingga tetes terakhir. Saya katakan bahwa masih banyak orang-orang di luar sana
yang tidak bisa makan seperti kita. Tanggapannya beragam. Ada yang
mengapresiasi, ada pula yang mencaci. Namun sebelum saya mengingatkan mengenai
makanan yang harus dihabiskan, saya berusaha untuk memberi contoh terlebih
dulu.
Setiap mengambil makanan saya selalu
berprinsip bahwa ini harus habis dan tidak boleh ada sisa. Saya mengambil
dengan perhitungan bahwa saya akan sanggup menghabiskannya. Sampai-sampai
seringkali saya mengangkat piring dan menempelkan ujung piring di bibir
layaknya meminum air dari gelas hanya untuk memastikan tidak ada nasi yang
terlewatkan. Seperti orang Jepang yang memakan nasi menggunakan sumpit, mereka
tidak canggung atau malu untuk “menyeruput” piring hingga bersih tak bersisa.
Saya bisa pahami bahwa penghargaan mereka terhadap makanan sangat tinggi dan
tidak akan menyia-nyiakan apa yang sudah diberikan oleh Tuhan. Bahkan di Jepang
sana, terdapat sanksi yang lebih keras jika tidak menghabiskan makan.
Denda
Beberapa restoran atau tempat makan di
beberapa negara tidak ragu untuk menerapkan denda terhadap makanan yang belum
habis. Jepang misalnya, sebuah restoran di Sapporo, Jepang bernama Hachikyo
mengeluarkan peraturan mendenda tamu bila menyisakan makanan yang ada di piring
pesanan, walau hanya sebutir nasi. Peraturan tersebut bukan didasarkan
atas kepedulian sesama yang memperlihatkan bahwa banyak orang-orang yang tidak
seberuntung mereka yang mampu makan di restoran itu. Namun, restoran Hachikyo
ini melihat lebih kepada proses bagaimana makanan itu dihidangkan.
Habis, bersih |
Lain lagi dengan di Cina, negara ini justru
didukung penuh oleh pemerintahnya dalam hal urusan makanan sisa. Sesuai laporan
dari pemerintah China, setiap makanan yang tidak habis dimakan dan jadi sampah
di China ternyata dapat memberi makan 200 juta orang per tahun. Inisiatif untuk
mengenakan denda bagi restoran yang membiarkan pengunjungnya tidak menghabiskan
makanan ini berasal dari pihak pemerintah di daerah Zhuhai, China. Pemerintah
setempat bersama sebuah departemen khusus yang bernama The Office of the
Spiritual Civilization Development Steering Commission of CPC telah mengusulkan
rencana untuk mengenakan denda pada restoran-restoran tersebut. Isi peraturan
tentang denda tersebut menjelaskan bahwa pemerintah akan mengenakan denda
sebesar 2000 sampai 10.000 Yuan (Rp 3.370.000 sampai Rp 16.800.000). Denda akan
dipungut dari pengunjung restoran yang menyisakan makanan dan akan diakumulasi
dengan jumlah pengunjung lain. Denda dibayarkan oleh pihak restoran (Kaskus, 02/09/2013).
Aktor Ferry Salim di Indonesia pun berusaha
untuk mewujudkan antisipasi terhadap makanan sisa. Melalui restoran miliknya,
aktor yang sudah berusia kepala empat ini melakukan pembatasan waktu terhadap
pengunjung yang makan di situ. Di meja resto, menurut penuturannya dalam
Male Magazine Edisi 006, ditulisi: “Ambil makanan secukupnya”.
Lebih lanjut, Ferry Salim mengungkapkan
bahwa di luar negeri jika makanan tidak habis, diambil lagi oleh pihak resto,
ditimbang lalu pengunjung tersebut didenda. Bahkan, masih menurut dia, cara
lebih ekstrem restoran di luar negeri ditempel sebuah tulisan: “Coba renungkan
anak-anak di Afrika yang tidak bisa untuk makan”.
Oleh karena itu, sekali lagi, mari kita
renungkan bersama dan berpikir ulang jika berhadapan dengan makanan. Tidak ada
tindakan lain selain habiskan dan selesaikan hingga suapan terakhir. Sebuah
tindakan kecil dan dilakukan terus menerus akan menghasilkan sesuatu yang
berkelanjutan. Mari.
Gatau knapa tulisan ini bikin hati tenang.
ReplyDeleteterlepas dari topik yang di bahas.